Belum lepas dari memori masyarakat bakal ancaman potensi gempa Megathurst Selat Sunda, sekarang isu itu kembali menghantui masyarakat Sukabumi dan sekitarnya. Sebelumnya, ancaman gempa berkekuatan sampai magnitudo 9 ditebak akan menghantam Kota Jakarta.
Hal ini dikatakan Peneliti Pusat Penelitian Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung, Renza Furqon yang meminta masyarakat Sukabumi, Jawa Barat untuk tidak jarang kali waspada terjadinya potensi gempa berkekuatan Magnitudo 8,7. Bahkan Renza menyinggung guncangan yang akan dirasakan menjangkau VIII sampai IX Modified Mercalli Intensity (MMI) yang paling merusak.
Kata Renza, potensi gempa bumi ini dirangsang dari sesar naik paling besar ( Megathrust) yang berpusat di sepanjang lautan lepas Samudera Hindia. Yang mengerikan, dampaknya dapat membangkitkan tsunami.
“Untuk M 8,7 tersebut menurut simulasi skenario terjelek yang kami ambil dari gempa terbesar yang pernah terjadi di Selatan Jawa,” kata Renza, Jumat 21 Februari lalu.
Apa yang dikatakan Renza ini bukan isapan ibu jari semata. Sebab ia menyampaikannya dalam deskripsi materi “Potensi Ancaman Megathrust Selatan Jawa Barat dan Tsunami Kabupaten Sukabumi” pada Sosialisasi Pengurangan Risiko Bencana guna Pengelola Wisata di Resort Pangrango, Sukabumi.
Pada peluang itu, Renza menyatakan di Selatan Jawa ini pernah terjadi gempa berkekuatan M 8,7. Selain tersebut tercatat pun terjadi gempa berkekuatan M 8,4 kemudian M 7,4 dan M 7,6.
“Seperti gempa Pangandaran 2006 dengan M 7,8 dan gempa Tasikmalaya 2009 kekuatannya M 7,3,” kata dia.
Renza mengkhawatirkan dengan adanya potensi gempa megathrust di Samudera Hindia akan membangunkan tsunami. Ketinggian tsunami pun dapat mencapai 10 sampai 15 meter sementara rendamannya ke daratan dapat mencapai 2 kilometer.
Potensi megathrust di Selatan Pulau Jawa memang ditebak para peneliti bahwa terdapat segmen-segmen yang dinamakan seismic gap. Segmen itu belum terdapat pelepasan energi, baik dalam format gempa maupun lainnya.
“Sehingga bisa jadi untuk terjadinya potensi megathrust paling tinggi di Selatan Jawa tergolong di Selat Sunda. Maka dari itu, saya dan anda butuh waspada. Memang belum dapat diprediksi secara tentu tapi terdapat potensi,” kata Renza.
Renza menambahkan potensi gempa megathrust ini pun dapat merangsang gempa sesar di darat yang paling merusak. Karena terdapat hubungan antara sesar daratan yang menjorok ke laut dengan sesar lautan. Karakteristik sesar Cimandiri ini adalahsesar daratan.
Ada riset lanjutan yang menerus ke lautan di Palabuhanratu. Namun menerusnya berapa kilometer sudah dicerminkan peneliti namun belum dikonfirmasi secara jelas dalam publikasi. “Sesar Cimandiri menyambung ke sesar Lembang ke sesar Baribis,” kata dia.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Renza menyebutkan gempa Tasikmalaya 2 September 2009 pukul 7:55 WIB berkekuatan M 7,3 menyebabkan 81 orang meninggal dunia. Juga terdaftar tsunami lokal setinggi satu meter di pantai Pameungpeuk dan setinggi 0,2 sentimeter di pantai Pelabuhan Ratu.
Selain tersebut menurut referensi Soloviev ands Go (1974), Wichman (1918), Cox (1970) pada 9 September 1823 terjadi gempa M 6,8 di Laut Jawa Barat. “Gempa disertai dengan suara gemuruh dan pada ketika yang bersamaan muka air laut naik sampai mencapai tinggi 0,3 meter,” ujarnya.
Sementara dalam website resminya, BMKG menjelaskan tentang skala MMI guna goncangan gempa yang dirasakan. Yaitu VIII MMI : kehancuran ringan pada bangunan dengan konstruksi yang kuat.
Retak-retak pada bangunan degan konstruksi tidak cukup baik, dinding bisa lepas dari rangka rumah, cerobong asap pabrik dan monumen-monumen roboh, air menjadi keruh. Sedangkan IX MMI : Kerusakan pada bangunan yang kuat, rangka-rangka lokasi tinggal menjadi tidak lurus, tidak sedikit retak.
Megathurst Selat Sunda
Sebelumnya ancaman gempa berkekuatan sampai M 9 pernah menghantui kota Jakarta. Ditambah letak ibukota yang dikelilingi oleh zona subduksi Selat Sunda serta lempengan patahan Australia dan Asia.
Selain tersebut kondisi tanah Jakarta berupa endapan aluvial sampai-sampai lebih rentan guncangan, konstruksi bangunan di Jakarta belum disiapkan menghadapi gempa besar serta tsunami. Berdasarkan keterangan dari Prof Yan, potensi tersebut jika dikaji secara hipotetis barangkali saja. “Tapi anda tak punya daftar sejarah , Jakarta rentan bakal gempa berskala 9 Mw. Historis record, hanya di dekat M 7,” ujar peneliti LIPI itu di Jakarta.
Gempa maha dahsyat itu dapat saja terjadi namun diduga masih dalam jangka masa-masa panjang yaitu 100 sampai 1000 tahun. “Tentu saja dalam daftar manusia maupun sejarah, belum terdapat bukti yang mengindikasikan hal tersebut. Secara scientific dapat dilacak,” kata dia.
Yan menambahkan, andai paleo tsunami belum konklusif yang urgen sekarang bagaimana mengukur seberapa jauh anda siap hadapinya. Secara bioteknik, maupun seismic engineering sekian banyak wilayah di Jakarta mesti siap.
“Tak melulu Jakarta, Tangerang pun harus siap. Sejauh ini bangunan di Jakarta saya rasa sudah lumayan memperhitungkan,” ujarnya.
Jika berkaca menghitung terjadinya tsunami purba, Yan mengatakan dapat dibandingkan dengan endapan yang lumayan tebal serta potongan kayu masa kemudian yang dapat di karbon asotop. “Periode ulang dapat diliat dari tsunami purba. Kalau ditarik lurus, pantai pesisir barat sumatera,bisa dianalisis dari terumbu karang yang laksana topi sombrero meksiko. Selain tersebut menjelang gempa berikutnya turun, dapat di deeping secara teliti. Metode menghitung usia ring pohon,” kata dia.
Untuk unsur Pulau Jawa yang notabene jarang adanya terumbu karang, kata Yan, dapat diteliti dari sedimen pasir yang terbawah pesisir. “Entah berapa puluh meter itu. Harus dikaji lebih dalam,” ujarnya.
Sebelumnya, Udrekh, Kepala Bidang Teknologi Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) saat tersebut mengatakan sebagai perbandingan, gempa tahun 2009 di unsur selatan Jawa guncangannya terasa lumayan besar di Jakarta. Padahal, gempa saat tersebut baru skala M 7 dan MMI 4-5.
“Dengan kekuatan gempa di zona subduksi Selat Sunda (Sunda Megathrust) sampai M 8,7-9, guncangan yang dialami di Jakarta dapat mencapai skala VIII MMI. Jarak Jakarta dengan pusat gempa di Sunda Megathrust selama 170 km,” kata dia.
“Jangankan VIII MMI, guna skala VII MMI, menurut keterangan dari penelitian mula kami, banyak sekali bangunan di Jakarta ambruk. Beberapa variabel penelitian mencakup usia bangunan, bentuk, dan fungsi,” katanya. Penelitian itu, kata Udrekh, bakal diperdalam lagi. “Untuk Lampung dan Banten, ancaman di samping gempa, pasti tsunami,” ujarnya.
Sementara tersebut Prof Mashyur Irsyam menegaskan untuk memahami kapan terjadi dan asal sumber gempa, sedangkan ini belum studi otentik. “Belum terdapat studi detail. Namun bila dikaji lagi, subduksi Asia dan Australia, Selat Sunda, Barat sumatera dan Jawa Barat, para berpengalaman mengatakan , gempa dengan magnitude dapat sampai 8,5Mw. Tapi tersebut belum pasti terjadi,” ucap Masyhur.
Menurutnya, gempa besar yang dapat pengaruhi andai terjadi laut hindia, sesar cimandiri, pelabuhan ratu. Gempa, dijelaskannya, terjadi dampak gesekan yang terbit lagi ke batuan kemudian merambat ke tanah, dirambatkan ke atas. “Ketika telah diatas, pembesaran goyangan resonansi lebih besar,” kata dia.
“Kalau jakarta pernah terdaftar gempa saat Gunung Gede. Itupun pada masa-masa jaman belanda tahun 1699 dengan 40 bangunan rusak. Namun waktu tersebut belum tahu sumber gempanya. Begitu pun pada tahun 1833 terdapat goyangan tanah,” katanya.
Yang sudah tentu subduksi lempengan tadi, yaitu sesar cimandiri, sesar selat sunda. Kalaupun terjadi, lanjutnya, melulu sebatas gempa dangkal, sebab lempengan patahan tadi. “Paling selama 6,5 skala richter. Wilayah Jakarta Utara lebih banyak terkena Imbasnya. Termasuk Istana Negara,” ujarnya.
Hal itu diucapkannya menilik kontur tanah Jakarta Utara lunak. Dirinya pun telah menyiapkan teknologi mikro zonasi. “Di mana nanti Gubernur DKI dapat tahu wilayah mana saja yang berpotensi kerusakan lumayan parah dampak gempa. Contoh goyangan gempa terjadi laut hindia, dengan skala 8,7 Mw pada jarak 180 km. Goyangannya antara 0,1 gravitasi,sampai 0,16 gravitasi. Jadi tidak terlampau parah kerusakannya. Karena struktur bangunan di Jakarta saya yakin telah bagus,” kata dia.
Bangunan yang siap tahan gempa juga menurutnya mesti memakai hukum Newton 2. Selain tersebut Kepala Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ketika itu, Haryadi Permana, menuliskan ancaman gempa Sunda Megathrust mesti diwaspadai. “Ancaman Sunda Megathrust memang nyata,” katanya.
Untuk Jakarta, menurut keterangan dari Haryadi, tingkat kerentanan meningkat tinggi sebab kondisi geologi kota yang labil. “Kota Jakarta sedang di dataran aluvial. Sangat empuk dan rendah sekali. Bahkan, beberapa daratan di bawah permukaan laut dan dialiri 11 sungai utama,” katanya.
Tanah aluvial mempunyai amplifikasi tinggi andai diguncang gempa. “Mungkin sejumlah pemilik bangunan tinggi atau hotel-hotel telah mendesain konstruksi bangunan tahan gempa, namun bagaimana dengan tanahnya? Bisa jadi fondasi atau tanahnya hancur,” ujarnya.
Berdasarkan keterangan dari Haryadi, di bawah tanah Jakarta ada sesar-sesar tua yang belum dipetakan rinci. Dampaknya, bila terjadi gempa di Laut Selatan, contohnya sekitar Sukabumi, orang Jakarta seringkali lebih menikmati guncangan dikomparasikan dengan orang Bandung.
“Saya menganjurkan Jakarta diperhatikan oleh seismograf dan GPS untuk mengawasi apakah sesar aktif.”
Untuk itu, butuh upaya nyata dan masif, khususnya di lingkungan edukasi kebencanaan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. “Pengurangan risiko bencana mesti jadi arus utama dalam pembangunan,” kata dia.
Hal ini dikatakan Peneliti Pusat Penelitian Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung, Renza Furqon yang meminta masyarakat Sukabumi, Jawa Barat untuk tidak jarang kali waspada terjadinya potensi gempa berkekuatan Magnitudo 8,7. Bahkan Renza menyinggung guncangan yang akan dirasakan menjangkau VIII sampai IX Modified Mercalli Intensity (MMI) yang paling merusak.
Kata Renza, potensi gempa bumi ini dirangsang dari sesar naik paling besar ( Megathrust) yang berpusat di sepanjang lautan lepas Samudera Hindia. Yang mengerikan, dampaknya dapat membangkitkan tsunami.
“Untuk M 8,7 tersebut menurut simulasi skenario terjelek yang kami ambil dari gempa terbesar yang pernah terjadi di Selatan Jawa,” kata Renza, Jumat 21 Februari lalu.
Apa yang dikatakan Renza ini bukan isapan ibu jari semata. Sebab ia menyampaikannya dalam deskripsi materi “Potensi Ancaman Megathrust Selatan Jawa Barat dan Tsunami Kabupaten Sukabumi” pada Sosialisasi Pengurangan Risiko Bencana guna Pengelola Wisata di Resort Pangrango, Sukabumi.
Pada peluang itu, Renza menyatakan di Selatan Jawa ini pernah terjadi gempa berkekuatan M 8,7. Selain tersebut tercatat pun terjadi gempa berkekuatan M 8,4 kemudian M 7,4 dan M 7,6.
“Seperti gempa Pangandaran 2006 dengan M 7,8 dan gempa Tasikmalaya 2009 kekuatannya M 7,3,” kata dia.
Renza mengkhawatirkan dengan adanya potensi gempa megathrust di Samudera Hindia akan membangunkan tsunami. Ketinggian tsunami pun dapat mencapai 10 sampai 15 meter sementara rendamannya ke daratan dapat mencapai 2 kilometer.
Potensi megathrust di Selatan Pulau Jawa memang ditebak para peneliti bahwa terdapat segmen-segmen yang dinamakan seismic gap. Segmen itu belum terdapat pelepasan energi, baik dalam format gempa maupun lainnya.
“Sehingga bisa jadi untuk terjadinya potensi megathrust paling tinggi di Selatan Jawa tergolong di Selat Sunda. Maka dari itu, saya dan anda butuh waspada. Memang belum dapat diprediksi secara tentu tapi terdapat potensi,” kata Renza.
Renza menambahkan potensi gempa megathrust ini pun dapat merangsang gempa sesar di darat yang paling merusak. Karena terdapat hubungan antara sesar daratan yang menjorok ke laut dengan sesar lautan. Karakteristik sesar Cimandiri ini adalahsesar daratan.
Ada riset lanjutan yang menerus ke lautan di Palabuhanratu. Namun menerusnya berapa kilometer sudah dicerminkan peneliti namun belum dikonfirmasi secara jelas dalam publikasi. “Sesar Cimandiri menyambung ke sesar Lembang ke sesar Baribis,” kata dia.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Renza menyebutkan gempa Tasikmalaya 2 September 2009 pukul 7:55 WIB berkekuatan M 7,3 menyebabkan 81 orang meninggal dunia. Juga terdaftar tsunami lokal setinggi satu meter di pantai Pameungpeuk dan setinggi 0,2 sentimeter di pantai Pelabuhan Ratu.
Selain tersebut menurut referensi Soloviev ands Go (1974), Wichman (1918), Cox (1970) pada 9 September 1823 terjadi gempa M 6,8 di Laut Jawa Barat. “Gempa disertai dengan suara gemuruh dan pada ketika yang bersamaan muka air laut naik sampai mencapai tinggi 0,3 meter,” ujarnya.
Sementara dalam website resminya, BMKG menjelaskan tentang skala MMI guna goncangan gempa yang dirasakan. Yaitu VIII MMI : kehancuran ringan pada bangunan dengan konstruksi yang kuat.
Retak-retak pada bangunan degan konstruksi tidak cukup baik, dinding bisa lepas dari rangka rumah, cerobong asap pabrik dan monumen-monumen roboh, air menjadi keruh. Sedangkan IX MMI : Kerusakan pada bangunan yang kuat, rangka-rangka lokasi tinggal menjadi tidak lurus, tidak sedikit retak.
Megathurst Selat Sunda
Sebelumnya ancaman gempa berkekuatan sampai M 9 pernah menghantui kota Jakarta. Ditambah letak ibukota yang dikelilingi oleh zona subduksi Selat Sunda serta lempengan patahan Australia dan Asia.
Selain tersebut kondisi tanah Jakarta berupa endapan aluvial sampai-sampai lebih rentan guncangan, konstruksi bangunan di Jakarta belum disiapkan menghadapi gempa besar serta tsunami. Berdasarkan keterangan dari Prof Yan, potensi tersebut jika dikaji secara hipotetis barangkali saja. “Tapi anda tak punya daftar sejarah , Jakarta rentan bakal gempa berskala 9 Mw. Historis record, hanya di dekat M 7,” ujar peneliti LIPI itu di Jakarta.
Gempa maha dahsyat itu dapat saja terjadi namun diduga masih dalam jangka masa-masa panjang yaitu 100 sampai 1000 tahun. “Tentu saja dalam daftar manusia maupun sejarah, belum terdapat bukti yang mengindikasikan hal tersebut. Secara scientific dapat dilacak,” kata dia.
Yan menambahkan, andai paleo tsunami belum konklusif yang urgen sekarang bagaimana mengukur seberapa jauh anda siap hadapinya. Secara bioteknik, maupun seismic engineering sekian banyak wilayah di Jakarta mesti siap.
“Tak melulu Jakarta, Tangerang pun harus siap. Sejauh ini bangunan di Jakarta saya rasa sudah lumayan memperhitungkan,” ujarnya.
Jika berkaca menghitung terjadinya tsunami purba, Yan mengatakan dapat dibandingkan dengan endapan yang lumayan tebal serta potongan kayu masa kemudian yang dapat di karbon asotop. “Periode ulang dapat diliat dari tsunami purba. Kalau ditarik lurus, pantai pesisir barat sumatera,bisa dianalisis dari terumbu karang yang laksana topi sombrero meksiko. Selain tersebut menjelang gempa berikutnya turun, dapat di deeping secara teliti. Metode menghitung usia ring pohon,” kata dia.
Untuk unsur Pulau Jawa yang notabene jarang adanya terumbu karang, kata Yan, dapat diteliti dari sedimen pasir yang terbawah pesisir. “Entah berapa puluh meter itu. Harus dikaji lebih dalam,” ujarnya.
Sebelumnya, Udrekh, Kepala Bidang Teknologi Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) saat tersebut mengatakan sebagai perbandingan, gempa tahun 2009 di unsur selatan Jawa guncangannya terasa lumayan besar di Jakarta. Padahal, gempa saat tersebut baru skala M 7 dan MMI 4-5.
“Dengan kekuatan gempa di zona subduksi Selat Sunda (Sunda Megathrust) sampai M 8,7-9, guncangan yang dialami di Jakarta dapat mencapai skala VIII MMI. Jarak Jakarta dengan pusat gempa di Sunda Megathrust selama 170 km,” kata dia.
“Jangankan VIII MMI, guna skala VII MMI, menurut keterangan dari penelitian mula kami, banyak sekali bangunan di Jakarta ambruk. Beberapa variabel penelitian mencakup usia bangunan, bentuk, dan fungsi,” katanya. Penelitian itu, kata Udrekh, bakal diperdalam lagi. “Untuk Lampung dan Banten, ancaman di samping gempa, pasti tsunami,” ujarnya.
Sementara tersebut Prof Mashyur Irsyam menegaskan untuk memahami kapan terjadi dan asal sumber gempa, sedangkan ini belum studi otentik. “Belum terdapat studi detail. Namun bila dikaji lagi, subduksi Asia dan Australia, Selat Sunda, Barat sumatera dan Jawa Barat, para berpengalaman mengatakan , gempa dengan magnitude dapat sampai 8,5Mw. Tapi tersebut belum pasti terjadi,” ucap Masyhur.
Menurutnya, gempa besar yang dapat pengaruhi andai terjadi laut hindia, sesar cimandiri, pelabuhan ratu. Gempa, dijelaskannya, terjadi dampak gesekan yang terbit lagi ke batuan kemudian merambat ke tanah, dirambatkan ke atas. “Ketika telah diatas, pembesaran goyangan resonansi lebih besar,” kata dia.
“Kalau jakarta pernah terdaftar gempa saat Gunung Gede. Itupun pada masa-masa jaman belanda tahun 1699 dengan 40 bangunan rusak. Namun waktu tersebut belum tahu sumber gempanya. Begitu pun pada tahun 1833 terdapat goyangan tanah,” katanya.
Yang sudah tentu subduksi lempengan tadi, yaitu sesar cimandiri, sesar selat sunda. Kalaupun terjadi, lanjutnya, melulu sebatas gempa dangkal, sebab lempengan patahan tadi. “Paling selama 6,5 skala richter. Wilayah Jakarta Utara lebih banyak terkena Imbasnya. Termasuk Istana Negara,” ujarnya.
Hal itu diucapkannya menilik kontur tanah Jakarta Utara lunak. Dirinya pun telah menyiapkan teknologi mikro zonasi. “Di mana nanti Gubernur DKI dapat tahu wilayah mana saja yang berpotensi kerusakan lumayan parah dampak gempa. Contoh goyangan gempa terjadi laut hindia, dengan skala 8,7 Mw pada jarak 180 km. Goyangannya antara 0,1 gravitasi,sampai 0,16 gravitasi. Jadi tidak terlampau parah kerusakannya. Karena struktur bangunan di Jakarta saya yakin telah bagus,” kata dia.
Bangunan yang siap tahan gempa juga menurutnya mesti memakai hukum Newton 2. Selain tersebut Kepala Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ketika itu, Haryadi Permana, menuliskan ancaman gempa Sunda Megathrust mesti diwaspadai. “Ancaman Sunda Megathrust memang nyata,” katanya.
Untuk Jakarta, menurut keterangan dari Haryadi, tingkat kerentanan meningkat tinggi sebab kondisi geologi kota yang labil. “Kota Jakarta sedang di dataran aluvial. Sangat empuk dan rendah sekali. Bahkan, beberapa daratan di bawah permukaan laut dan dialiri 11 sungai utama,” katanya.
Tanah aluvial mempunyai amplifikasi tinggi andai diguncang gempa. “Mungkin sejumlah pemilik bangunan tinggi atau hotel-hotel telah mendesain konstruksi bangunan tahan gempa, namun bagaimana dengan tanahnya? Bisa jadi fondasi atau tanahnya hancur,” ujarnya.
Berdasarkan keterangan dari Haryadi, di bawah tanah Jakarta ada sesar-sesar tua yang belum dipetakan rinci. Dampaknya, bila terjadi gempa di Laut Selatan, contohnya sekitar Sukabumi, orang Jakarta seringkali lebih menikmati guncangan dikomparasikan dengan orang Bandung.
“Saya menganjurkan Jakarta diperhatikan oleh seismograf dan GPS untuk mengawasi apakah sesar aktif.”
Untuk itu, butuh upaya nyata dan masif, khususnya di lingkungan edukasi kebencanaan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. “Pengurangan risiko bencana mesti jadi arus utama dalam pembangunan,” kata dia.